top of page
Blog ini pindah

Terima kasih sudah berkunjung. Post baru akan update terus di alamat: https://muhammad-dito.com

  • Gambar penulisMasali

Aturan Bagi Manusia yang Merasa (Sok) Bebas


Kalau ada filsuf yang bilang manusia itu pada hakikatnya bebas, berarti filsuf itu kayaknya jomblo sampe bangkotan. Soalnya, filsuf itu nggak pernah merasakan keder ditanya sama ayahanda pacar di ruang tamu waktu nunggu si pacar ini dandan.



 

Manusia p​​ada hakikatnya ternyata bukan makhluk yg bebas. Nggak ada itu yg namanya free will atau kehendak pribadi yang selalu dichampion oleh penganut libertardalisme . Manusia hidup dalam aturan-aturan dan ikatan aturan ini mau tidak mau memang ada dan nggak bisa bim salabim prok prok prok ilang begitu saja. Malah, aturan yang membelenggu manusia ini sampai ada 4 lapis.


PERTAMA: ATURAN ALAM


Sering disebut juga hukum alam. Ini yang juelas banget nggak akan bisa kita langgar. Bisa sih dicoba, tapi mau coba melanggar saja langsung dapat sanksi. Contohnya terbang. Sejak jaman Nabi Adam bangun mak jegagik di Hindustan sampai nanti Prince Louis of Cambridge punya gantung siwur juga manusia nggak akan bisa terbang. Mau coba? Ya, monggo naik ke parkiran Amplaz, sholat di masjidnya sambil minta keselamatan, panjat dinding, terus lompat sambil meniru gaya garuda. Praktis, nggak ada 5 menit sudah mendarat. Setengah jam kemudian Insyaallah almarhum.


Jadi, hukum alam ya memang aturan yang tidak akan pernah bisa kita lawan. Mau mencoba saja sudah langsung dihukum; belum sempat terbang nyawa sudah melayang. "Tapi mas lha yo sekarang ada pesawat, to?" Nah, ini namanya bukan melanggar hukum alam tapi memanfaatkan hukum alam. Teknologi pesawat yang bisa membuat pesawat itu terbang dapat dibuat ya karena kita tahu ilmu-ilmu dan teori untuk membuat alat yang bisa "mengakali" alam, alih-alih melanggarnya. Misal dengan memanfaatkan gaya angkat jet, membuat rangka yang aerodinamis, dan sebagainya.


KEDUA: ATURAN RESMI


Sering disebut hukum gitu aja. Merupakan seperangkat aturan yang dibuat oleh pihak yang memiliki otoritas—biasanya pemerintah—dan diawasi oleh penegak hukum di bawah pihak otoritas tersebut. Berbeda dengan hukum alam, aturan ini secara fisik bisa dilanggar, tapi secara resmi akan mendapat sanksi. 


Contohnya, kita mau berpindah tempat dengan cepat. Kecuali kamu Usain Bolt, kecepatan manusia lari itu berapa sih, paling mentoknya 20-30 km/jam. Hukum alam membatasi fisik manusia untuk dapat berlari seperti macan biskuat. Tapi, dengan adanya teknologi yang bernama supra motor maka kita bisa mengakali alam untuk melaju sampai 50,60, bahkan 200 km/jam kalo kamu di Sentul. Naik mobil hebat lagi, bisa ngebut rame rame, sambil dangdutan pula.


Tapi, kita tidak akan boleh naik motor/mobil ketika kita tidak memiliki SIM atau kendaraan tanpa STNK. Boleh sih dicoba, tapi ya kalau ada razia bakal disemprit polwan (syukur kalo polwan, kalo polisi endut gimana?). Kena tilang deh, bayar di

tempat pengadilan atau bank.


KETIGA: NORMA


Biasanya norma ini adalah sebutan untuk seperangkat aturan yang nggak resmi-resmi amat, tapi kalau melanggar tetap saja akan mendapat sanksi. Kalau hukum resmi yang sebelumnya tadi dikodifikasi dalam undang-undang, misalnya, maka norma biasanya tidak tertulis dan merupakan ajaran turun temurun yang dianut oleh sekelompok masyarakat. Tapi jangan salah, meskipun bukan hukum resmi, tapi kadang sanksinya lebih menggigit dan pedas, sepedas pertanyaan interview Najwa Shihab.


Alkisah, Sabtu itu si Joni sedang buru-buru kuliah. Tadi malam sehabis begadang streaming bigo live piala dunia, eh mendadak ketiduran. Pagi-pagi beliau terbangun, menengok jam sudah pukul 7.15 padahal kelas dosen killer 7.30. Dengan ajian tapa kilatnya yaitu sikat gigi-mandi-keramas-cebok multitasking, 7.20 Joni sudah siap ke kampus naik maticnya. 


Hukum alam sudah diakali; bisa bergerak cepat dengan motor. Hukum resmi sudah dipatuhi: SIM dan STNK Joni siap di dompet. Tapi 7.50 Joni malah dikerubungi bapak-bapak kampung kos nya. Alasannya: Joni ngebut di gang kecil sampai hampir menabrak anak kecil yang sudah pakpung, wangi berbedak, dan sedang sumringah sarapan sambil naik sepeda dorong. Nggak ada yg terluka sih, namun sejurus kemudian satu deret kompleks keluar semua. Joni diuring habis-habisan karena dianggap nggak sopan ngebut di gang kecil. Sanksinya? Alhamdulillah cuma diomelin bapak-bapak dan emak emak, kemudian telat dan tidak dibolehkan masuk kelas. 


Di lain kasus, sanksi nya boleh saja lebih berat. Dua sejoli yg dimabuk asmara di kos-kosan, yang padahal suka sama suka, harus menanggung malu diarak sekampung karena dianggap melanggar norma. Padahal, kalau dibawa ke polisi ya pakpol terhormat cuma manggut-manggut, mencatat, telpon orangtua (kalau apes), minta janji si Romeo dan Juliet buat nggak mengulang perbuatan, terus disuruh pulang.


KEEMPAT: CANGGUNG


Kembali ke filsuf jomblo tadi, kalau beliau tidak pernah ditemui oleh bapak pacar waktu ngapel berarti dia nggak pernah mengalami canggung di depan calon mertua.


Canggung ini dapat dibilang lapisan aturan tertipis, tapi tetap ada. Dalam kasus ngapel pacar misalnya, hukum alam memperbolehkan fisik kita untuk pergi ke rumah pacar, tangan kita untuk mengetok pintu rumah pacar, lalu masuk ke rumah pacar kemudian menunggu di ruang tamu. Hukum negara juga memperbolehkan kita bertamu ke rumah orang. Norma juga membolehkan kok kita bertamu siang itu, di rumah pacar juga ada orangtuanya. 


Nah, udah sampai nih di ruang tamu. Es sirup siap, Khong Guan oke (isinya bukan rengginang), muka ganteng ready, rambut klimis dan wangi bak kesturi juga jos, tapi kok kikuk di depan bapak si adinda. Malu-malu kayak maba, ditanya cuma jawab pendek-pendek, diajak ngejokes cuma terkekeh atau nyengir nggak jelas. Kenapa? Karena canggung atau awkward. Lapisan awkwardness ini rupanya juga salah satu aturan yang membatasi kita. Padahal kalau di depan itu sohib kita, mau ketawa guling-guling kayak emot jadul Friendster juga bakal terjadi. Bahkan, kalau kita sudah dekat sama calon mertua ini juga kita akan lebih rileks dan menganggap si bapak ini bapak sendiri (ciye). Canggung muncul akibat kita berusaha menaati aturan-aturan yg sebenarnya nggak ada. Kita berusaha sopan di depan bapak si ayang, tapi apakah sopan itu dengan cara duduk kaku terus diam sebelum ditanya-tanya? Kita takut salah, sehingga kita bingung harus melakukan A atau B atau tidak sama sekali. 


Kalau saya ditanya masih suka canggung apa enggak di depan calon mertua: Hehe, calon mertua itu apa? [.]

35 tampilan
bottom of page