top of page
Blog ini pindah

Terima kasih sudah berkunjung. Post baru akan update terus di alamat: https://muhammad-dito.com

  • Gambar penulisMasali

Kenapa Mau Kelana?

Kayaknya jalan-jalan asyik ya, apalagi kalau dibayar.


 

Saya suka traveling. Ya siapa yg nggak suka, ya to? Jalan-jalan, lihat suasana baru, tempat baru, makanan baru, budaya baru, orang baru, gebetan baru. Sejak kecil saya memang jarang sih piknik, cuma sebatas yang dekat-dekat aja. SMP pernah ke Bali, SMA pernah ke Malang, terus ke US. Zaman kuliah pernah ke Banten, Karimunjawa, lalu ke Bangkok. Nggak banyak.

​​

Eh kalau kecil-kecil ya banyak, sih. Misal ke Semarang, Solo, Dieng. Tapi apalah dibanding mas-mas Eropa dan Amerika sono yang 20 tahun sudah gonta-ganti passport karena penuh cap, saya hanya bagaikan remahan wafer Khong Guan yang kalengnya sudah diisi peyek atau perkakas menjahit. Buat beli domain aja masih mikir-mikir (makanya masih pakai wix yang gratisan), apalagi buat traveling.


Saya ingin berbicara tentang daerah-daerah di Indonesia. Sebagai orang Jawa tulen, sejak jeblok lahir sampai sekarang kepala dua, ubek-ubekan saya ya di Jawa terus. Orangtua asli Jawa, orangtua orangtua asli Jawa, orangtua orangtua orangtua pun juga asli Jawa, dan saya yakin seterusnya juga begitu. Sepertinya kalo dirunut, leluhur saya ini abdi Aji Saka deh!


Sebagai orang Jawa, saya otomatis orang Indonesia juga. Ironisnya, saya belum pernah ke tempat lain di luar Jawa (kecuali Bali). Ini bagaikan; di rumah sendiri saya dari lahir sampai sudah hampir seperempat abad ndhelik terus di kamar. Nggak pernah ke mana-mana. Lak yo nelangsa, to?


Naasnya, ini karena nggak ada duit. Problem umum.


Juga karena saya ditakdirkan kuliah di Jogja saja. Sehingga ketika teman-teman merantau dan bisa pulang melepas rindu di kampung halaman, saya kan nggak bisa relate.


Jadi, saya kemudian punya keinginan besar buat berkelana. Ke pelosok Indonesia, dari ujung sini sampai sana sampai sono. Pokoknya ke mana-mana. Kemarin waktu, saya dan teman saya ikut di simulasi wawancara kerja. Dia pura-pura diwawancarai gitu, terus ditanya apa target dalam 5 tahun ke depan. Dia jawab punya tabungan sekian juta. Kalau saya yang ditanya, saya akan jawab keliling Indonesia.


Apalagi, sekarang negara sedang gencar-gencarnya membangun infrastruktur. Di media, baik media waras maupun gemblung, banyak yang menampilkan gambar-gambar pembangunan waduk ini, jembatan ini, jalan ini, di berbagai tempat di Indonesia. Lha ini namanya mingin-mingin i to ya!


Kalau saya breakdown, alasan saya mau jalan-jalan muter Nusantara ini ada beberapa. Pertama, saya merasa miris sama diri saya sendiri. Saya itu tipe yang agak nasionalis sebenarnya. Contohnya, mendengar Indonesia Raya 3 stanza aja merinding. Apalagi mendengar medley lagu daerah, wuh rasanya ingin menghabiskan waktu bersama adat-istiadat lain untuk semakin menumbuhkan cinta saya pada Republik! Tapi nasionalisme saya masih wajar-wajar aja sih, enggak overproud macam penduduk wkwkw land yang banyak ditemui di dunia ghaib maya..


Kedua, saya tuh bosan tinggal di Jogja terus. 22 tahun, dab, bro, cuk, bayangin. Muter-muter Jogja ke semua sudutnya saya pernah. Dari ujung Dlingo sampai pantai Timang, dari Cangkringan sampai NYIA saya pernah. Bahkan ditinggal sendirian di pucuk Imogiri pun dipastikan saya bisa kembali ke bilik saya dengan selamat. Tapi yo jangan ditinggal beneran, takut.


Ketiga, karena Jogja ini sendiri melting pot. Kalau orang bilang US itu melting pot dunia, maka Jogja adalah melting pot Indonesia. Hal ini karena pendidikan di Jogja dikenal bermutu jadi manusia-manusia seantero Republik berbondong-bondong ke sini (hence 'Kota Pelajar'). Mau cari orang apa? Dari ujung Aceh sampai Pulau Buru, ada. Dari Tarakan sampai Jayapura, banyak. "Loh, ya udah to mas nggak usah keliling Indonesia udh bisa ngrasain adat mreka wong orang-orangnya di sini semua", kata kamu. Justru itu, sahabat, kehadiran mereka tu mingin-mingin i, persis media propaganda pembangunan infastruktur Jokowi tadi. Mereka sering cerita, "eh kalau di kampung ku nikahan pesta 3 hari 3 malam" atau "kalau pesan air es di sana nyebutnya es kosong". Jadi makin penasaran buat tahu bagaimana keadaan sebenarnya di tanah asal mereka.


Lagipula, saya juga ingin merasakan bagaimana merantau dan berjuang sendiri. Punya kamar kos, pulang ke Jogja setahun sekali, kedengarannya asyik.


Di sisi lain, banyak orang bercita-cita bisa traveling ke luar negeri. Gusti, jelas ini saya juga mau, lah. Siapa coba yang nggak mau kan paspor banyak cap, terus foto tulisan "kapan kamu kesini" dengan background Big Ben, atau posting perilaku displin dan santun orang-orang luar negeri terus pakai caption "inilah kenapa Indonesia nggak maju blablabla"? [.]

30 tampilan
bottom of page